Beta Pattiradjawane
jang didjaga datu-datu
tjuma satu
Begitulah bait pertama puisi karangan pujangga angkatan 45 Chairil Anwar, berjudul Tjerita Buat Dien Tamaela. Siapa Dien dan mengapa Pattiradjawane ? Bagaimana hubungan Chairil Anwar dan Dien ?
LANTARAN penyair Chairil Anwar, nama Dien Tamaela begitu termasyur. Puisi Chairil berjudul Cerita Buat Dien Tamaela, sangat populer. Bukan hanya di Indonesia tapi juga di manca negara. Sebab puisi itu ternyata telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Spanyol, Latin bahkan Rusia.
Meskipun begitu populer, Dien Tamaela ternyata menjadi sebuah misteri. Banyak orang tidak tahu, siapa Dien Tamaela sebenarnya. Ada yang menyangka Dien seorang pria Ambon, seorang penyair, seorang pelukis, kritikus sastra. Ada yang menyebutnya sahabat Chairil di Negeri Belanda. Bahkan, ada juga yang menggosipkan sebagai istri gelap Chairil.
“Siapa itu Dien Tamaela, kita tidak kenal jadi kita tidak bisa menghayati puisi Chairil Anwar secara baik,” ujar seorang guru Sastra Indonesia pada forum dalam bulan bahasa 2008 di Kampus FKIP Universitas Pattimura.
Puisi Cerita Buat Dien Tamaela yang sungguh mistis, juga menjadi sebuah misteri. Chairil seperti punya pengalaman magis berada di pulau-pulau Maluku. Tapi untuk membuka tabir hubungan Chairil dan Dien, justru mesti dimulai dengan menelusuri puisi ini.
Puisi ini ditulis Chairil tahun 1946. Di bawah judul Cerita Buat Dien Tamaela, Chairil memulainya dengan satu larik yang langsung sangat Maluku, Beta Pattiradjawane. Tercatat, lima kali nama Pattiradjawane muncul dalam puisi sembilan bait itu. Maka pertanyaan berikut, siapa Pattiradjawane ? Mengapa bukan Pattimura atau marga-marga lainnya ?
PUTRI DOKTER TAMAELA
Cerita mengenai siapa Dien Tamaela bisa diurai dengan menelusuri makamnya di Tanah Kusir Jakarta Selatan. Dari sana, bisa tersingkap siapa Dien sebenarnya. Tentu, berjumpa dengan saudara kandungnya atau beberapa kerabatnya, sangatlah membantu.
Dien Tamaela bernama lengkap Leonardine Hendriette Tamaela. Ia lahir di Palembang, 27 Desember 1923 sebagai putri pertama pasangan dr Lodwijk Tamaela dan Mien Jacomina Pattiradjawane. Dien mempunyai seorang adik kandung bernama Lebrin Agustien Tamaela, yang lahir di Malang, 21 Agustus 1926. Sang adik dikenal dengan nama Dee, seorang dokter anak yang masih hidup di Menteng Jakarta Pusat dalam usia 83 tahun.
Dien dan Dee adalah putri dr Lodwijk Tamaela, pria kelahiran Ambon, 4 Maret 1896. Sang dokter meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalulintas di Mojokerto, 27 Juli 1938. Nama sang dokter diabadikan di Ambon sebagai nama ruas jalan dari Tugu Trikora menuju Batugantung.
Ibunda Dien dan Dee yakni Mien Jacomina Pattiradjawane lahir di Ambon, 8 September 1897. Sejak sang suami meninggal tahun 1938, Mien jualah yang mengasuh kedua putrinya. Waktu itu Dien berusia 15 tahun dan Dee baru 12 tahun. Mien hidup di Jakarta dalam usia yang panjang. Ia baru menghembuskan nafas terakhir di Jakarta, 28 Oktober 1996 dalam usia 99 tahun.
PIANIS DAN PENYANYI
Dien Tamaela sempat belajar di MULO Jakarta. Namun sampai kelas dua, ia pindah ke Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak. Nahas sebab pada tahun 1942, Jepang mulai menguasai Jakarta sehingga sekolah-sekolah ditutup. Dien pun putus sekolah. Tapi Dien melamar kerja di kantor pemerintah Jepang. Ia diterima sebagai tenaga administrasi sampai Indonesia merdeka. Setelah Jepang angkat kaki, tentara NICA ada di mana-mana.
Meskipun situasi tidak menentu, namun komunitas Maluku di Jakarta tetap berada dalam tradisi seni. Dien yang pandai bermain piano, secara rutin tampil dalam siaran budaya Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta. Sebagai pianis, mengiringi pemuda-pemuda Ambon bernyanyi. Dee juga masuk dalam kelompok penyanyi. Lagu-lagu dan pantun antara lain ditulis oleh seniman Buce Tahalele.
CHAIRIL MARAH
Tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana Dien berkenalan dengan Chairil Anwar. Tapi baik Dien maupun Chairil sama-sama sering bolak-balik Jakarta – Yogyakarta. Di Yogyakarta, Dien tinggal bersama keluarga Tahya-Pattiradjawane, saudara ibundanya yang biasa disapa Tante Putih. Keluarga Tahya-Pattiradjawane mengelola sebuah asrama pelajar dan Dien tinggal di situ jika ke Yogyakarta.
Chairil memang kemudian akrab dan jatuh cinta pada Dien. Tapi cinta setiap kali harus mengurut dada. Sebab ia harus berhadapan dengan dua perempuan bermarga Pattiradjawane yakni Mien di Jakarta dan Tante Putih di Yogyakarta.
Chairil sendiri dikenal sebagai pemuda petualang, tidur di mana saja, jarang mandi, jarang ganti baju, tukang begadang dan selalu kekurangan uang. Dengan penampilannya kumal, hal ini sangat kontras dengan Dien. Tiap kali Chairil bertamu, ia selalu kena semprotan kata-kata dari dua perempuan Pattiradjawane.
Meskipun berkali-kali kena damprat, Chairil selalu saja muncul dengan penampilan dekilnya. Cerita tentang tifa, pala, laut, sampan, pulau, datuk-datuk yang kemudian muncul dalam puisinya, sesungguhnya ekspresi kemarahan Chairil pada perempuan Pattiradjawane yang menjadi penghalang cintanya pada Dien. Chairil menangkap kisah-kisah tentang Maluku dari perempuan-perempuan itu.
Tahun 1947, Dien beberapa kali ke Yogyakarta. Waktu itu, puisi Cerita Buat Dien Tamaela sudah mulai menjadi buah bibir di Yogyakarta dan Jakarta. Chairil juga sering Yoggyakarta. Tapi menurut Dee, kakaknya itu seorang yang tidak banyak bicara sehingga tidak pernah bercerita sejauh mana hubungannya dengan Chairil.
“Dien tidak pernah bercerita tentang Chairil,” kata Dee.
TBC MEMBUNUH
Usianya baru 25 tahun ketika dokter memvonisnya positif terserang penyakit TBC. Pada masa itu, TBC adalah penyakit pembunuh nomor satu karena belum ada obatnya sama sekali. Kesehatannya terus memburuk. Sang ibu membawanya berobat ke rumah sakit yang kini dikenal sebagai RSUP Cipto Mangunkusumo.
Meskipun menjalani perawatan intensif, penyakitnya semakin parah. Dien tidak tertolong lagi sehingga akhirnya menutup mata untuk selamanya pada 8 Agustus 1948. Ia dimakamkan di Petamburan. Sepuluh tahun kemudian dipindahkan ke Pemakaman Tanah Kusir. Gadis hitam manis itu tidur di sana dalam sebuah keabadian puisi yang sangat terkenal, Cerita Buat Dien Tamaela. (Rudi Fofid)